Welcome

Delete this widget from your Dashboard and add your own words. This is just an example!

Re-imagining hiphop : note of Margue Vanguard a.k.a ucok homicide

Kamis, 21 November 2013

Morgue Vanguard a.k.a Ucok Homicide / Trigger Mortis
Morgue Vanguard a.k.a Ucok Homicide / Trigger Mortis
Suatu hari tiga tahun lalu seorang kawan meminta saya untuk menulis soal Hiphop lokal untuk sebuah majalah tempat ia bekerja. Namun dengan sangat menyesal saya tidak bisa menulisnya. Saya berfikir dia meminta saya pada waktu yang salah (saat itu mungkin bisa disebut puncak kebosanan saya dengan hiphop, terlebih hiphop lokal). Akhirnya yang bisa saya lakukan adalah menulis ini sebagai gantinya. Dua hari kemarin seorang kawan yang lain datang mengobrol perihal kejumudan, progresifitas dan hal-hal tak penting lainnya seputar scene lokal. Saya teringat lagi tulisan ini. Akhirnya saya putuskan untuk di-share ulang disini meski beberapa poin masih relevan dan beberapa lainnya tidak.?
Re-Imagining Hiphop

“We went from nuttin to somethin, bein real and not frontin
Growin up and we comin, up the ladder not bummin
Hip-Hop in the media, y’all know it’s wack
But just like them dopefiends who keep comin back”
KRS-One – “Hiphop
Dengan berat hati saya tidak dapat menulis sesuatu perihal hiphop di tanah air yang akan sangat terlalu dibuat-buat bila dipaksakan. Bukan karena tidak menghargai apa yang telah dilakukan oleh praktisi kultur ini di tanah air, namun karena betapa tidak ada apa-apanya dua dekade lebih perkembangan (artistik atau lainnya) hiphop di tanah air dibanding belahan tanah berpopulasi lain di bagian lain dunia ini. Di luar persoalan kuantitas album hiphop pertahun di Indonesia yang cenderung meningkat, hiphop Indonesia hampir bisa dikatakan tak kemana-mana. Kesadaran estetika dan kultural-ekonomi yang jauh dari sadar, pula seputar ritual budaya –yang seharusnya membebaskan –tak pernah keluar dari wacana pasar dan pasar (yang tentunya bukan barang haram namun menyebalkan jika dijadikan parameter utama valid-nya sebuah kultur).
Entah dimana letak masalahnya, namun bila diizinkan saya berasumsi, mungkin ini semua berakar pada usaha pemaknaan sebuah kata yang berujung pada keterbatasan imajinasi yang akan sangat fatal bila dikaitkan dengan sesuatu yang imajinatif, kaya akan imajinasi seperti hiphop. Mungkin ini akan terdengar seperti membual-bual namun saya ajak kawan membayangkan sedikit saja.
Lahir di NY di akhir 70an, hiphop tentu saja bukan ‘Hiphop’ ketika Kool Herc membeli dua buah piringan hitam yang identik sama untuk kemudian ia putar di pesta-pesta komunitas yang haus hiburan namun tak pernah punya cukup uang untuk menyewa club. Bisa pula kalian bayangkan, hiphop bukanlah ‘Hiphop’ yang kalian kenal (apapun itu) hari ini, saat beberapa pembawa acara pesta jalanan memulai ritual MC dengan menyapa crowd dan memanfaatkan mic untuk hura-hura karena instrumen musik sukar diakses, atau mungkin pula saat sekumpulan anak muda brengsek menari kejang-kejang melawan arus dansa-dansi disco yang membosankan. Pula saat seorang bomber bernama SuperKool mengganti caps standar pada spraycan dengan sebuah fatcap untuk dapat membuat graffiti blockbuster yang kemudian hari menghiasi kereta-kereta NY di tahun-tahun sesudahnya. Juga saat Grand Wizard Theodore menemukan teknik scratch, membolak-balik piringan hitam. Saat itu hiphop bukanlah ‘Hiphop’, hiphop masih berupa imajinasi liar tak terkendali yang datang dari hasrat dan kebutuhan yang membebaskan di tengah segala keterbatasan.
Seperti proyek kultural lain yang belum pernah benar-benar selesai –dan mungkin pula tak pernah terpikirkan telah dimulai– Hiphop, saat itu tentu saja belum memiliki stigma-stigma, imaji, gimmick, bullshit atau apapun yang melekat pada ‘Hiphop’ hari ini. Mungkin oleh karena itu lah, hiphop di awal 80-an hingga awal 90-an begitu imajinatif, ekspresif, menyegarkan, liar, membangkang dengan intens dan tentu saja menghibur dan menginspirasi. Saat itu, industri masih jauh dari tertarik pada kultur yang hari ini dapat menghasilkan milyaran dollar AS per tahunnya. Mungkin itu pula alasan mengapa begitu beragamnya suara dari kultur ini pada 10 tahun awal kelahirannya. Karena pada titik awal sebuah petualangan, hiphop tidak pernah memiliki blueprint, sesuatu yang bertolak belakang hari ini ketika ‘trend’ adalah parameternya, dan ‘pasar’ adalah panglima.
Saat Afrika Bambaataa memulai mengorganisir komunitas para DJ, MC, Breakers dan Bombers untuk berbuat sesuatu di ghetto-ghetto mereka, hiphop masih belum memiliki ‘judul’. Mungkin karena itu pula mereka membuat lagu bertitel ‘Renegades of Funk’. Sebagai salah satu pelopor hiphop, Bambaataa bisa saja memberi judul lagu itu ‘Pioneers of Hiphop’, namun saya yakin Bambaataa tidak lah melihatnya demikian, paling tidak, tidak saat itu. Bambaataa tidak menyadari bahwa apa yang sedang mereka lakukan merupakan awal sesuatu yang baru namun lebih merupakan sebuah usaha pembangkangan terhadap musik pendahulu mereka, Funk, yang pada saat itu mencapai titik jenuh. Renegades of Funk, para pembangkang ‘funk’.
Kata-kata memang kadang membebaskan namun pula memenjarakan ketika ia sudah mencapai status totem. Di hari Bambaataa men-sample Kraftwerk tak pernah satu media pun bilang bahwa Bambaataa melakukan hal yang ‘eksperimental’, di hari DJ DST berkolaborasi dengan the Last Poets tak ada yang menyebutnya dengan ‘nyeleneh’. Saat N.W.A meledak, media lah yang paling ganas menamai fenomena mereka sebagai gangster-rap, sama halnya saat Public Enemy menggetarkan dunia dengan “It Takes A Nation…”-nya, tak pernah ada yang namanya political hiphop, yang ada hanya hiphop, and thats the way it was. Hiphop yang selalu berarti petualangan, pengembaraan ‘berbahaya’ di medium apapun anak muda NY saat itu gemari. Entah mengapa terminologi itu hari ini dianggap ‘eksperimental’, keluar jalur’, ‘tidak lazim’, seolah memang ada sesuatu yang ‘seharusnya’ dalam memaknai hiphop, terlebih hidup dan keterasingan yang coba direpresentasikannya.
Hiphop, mungkin, seperti layaknya produk kultural lainnya, sudah selayaknya dibiarkan menjadi sebuah ide dan imajinasi terbuka. Ia harus tetap liar dan terbuka untuk kemungkinan apapun. Dengan kondisi seperti itu, kita akan berkesempatan menjumpai beragam wujudnya dalam bentuk yang terburuk sekaligus yang terindah. Kita pernah menyaksikan hiphop berwujud musik generik butut tak ada ampun seperti 2 Live Crew atau MC Hammer, namun kondisi itu pula yang melahirkan hiphop masterpiece dari Public Enemy hingga Nas. Seperti halnya tembok polos tanpa otoritas, akan sempat melahirkan coretan tagging nama geng motor yang tak akan pernah bisa dibilang bagus, namun pula akan melahirkan piece graffiti berwarna pelangi yang akan membuat kalian menghentikan kendaraan dan berdiri di depannya tertegun selama beberapa menit, atau mungkin jam. Ini akan sangat berbeda ketika kalian menyaksikan piece serupa di sebuah event ‘street art’ bersponsorkan korporasi rokok raksasa yang memaksakan kalian definisi ‘seni jalanan’ tadi ke sebuah wilayah pemaknaan yang sempit. Sama halnya dengan adrenalin yang menghilang ketika kalian menyaksikan breakdance tak lagi menarik meski ditampilkan dalam suguhan ‘battle’ di sejumlah event televisi yang selalu begitu-begitu saja.
Seperti halnya fenomena luar biasa lainnya di dunia ini, hiphop adalah potret sebuah usaha keluar dari keterasingan dan kebosanan. Namun sama nasibnya dengan Rock N Roll dan Punk yang tereduksi menjadi sekedar ‘Rock N Roll’ dan ‘Punk’, hiphop hari ini tak lebih dari sekedar ‘Hiphop’. Tak lagi menyegarkan, kadang menggelikan, seringnya amit-amit membosankan. Hiphop sudah selalu dianggap sesuatu yang ‘given’ alias ‘sudah dari sananya’. Persis argumen-argumen konservatif yang berfikir bahwa semua hal di dunia memang sudah begitu adanya, tak terbantahkan tanpa pernah terlintas di benak bagaimana sebuah proses tersebut terlahir.
Hiphop –atau apapun dalam hidup- seharusnya membebaskan, dari keterasingan dan kebosanan, pula memberi gairah tertentu pada mereka yang berkeinginan untuk hidup lebih dari sekedar hidup. Hiphop used to move me. But It doesnt move me anymore, i don’t even know whether i’m for it or against it.
Untungnya, hiphop selalu personal. Tak perlu dibela -bela absurd seperti nasionalisme, tak perlu dimanifestokan serupa ideologi usang dan tak perlu diusung junjung tinggi-tinggi seperti panji-panji partai di musim kampanye. Hiphop cukup serupa pakaian atau mungkin serupa tissue wc, serupa suara bit hook sekian detik dari tumpukan piringan hitam kusam yang kalian sample, yang kapanpun kalian dapat memakainya atau meninggalkannya. Dapat mencampurnya dengan lainnya atau membuangnya sama sekali. Tak pernah ada masalah.

0 komentar:

Posting Komentar